PojokReview - Di era kolonial Belanda, tepat di ibukota Jawa Tengah, Semarang, hidup seorang bernama Tasriepin. Ia seorang pengusaha dan menjadi salah satu orang terkaya di Hindia Belanda pada tahun 1880-an.
Saat ia meninggal tahun 1919, tercatat total kekayaannya adalah 45 juta Gulden. Bila kita tukarkan ke rupiah saat ini (1 gulden antillen Belanda sama dengan 9000 rupiah) berarti total kekayaannya adalah Rp405 Miliar.
Uang sebesar itu adalah di saat tahun 1919. Bayangkan, uang 400 miliar rupiah di tahun 1919 itu berarti berapa di tahun 2024? Dengan tingkat inflasi tahunan kita rata-ratakan 5%, yang berarti uang akan terus meningkat setiap tahunnya.
Itu berarti, uang 400 miliar rupiah di tahun 1919 bernilai kurang lebih 67 triliun rupiah di tahun 2024!
Bayangkan saja, total kekayaan Raffi Ahmad adalah Rp2,9 triliun.
Total kekayaan Tasriepin waktu meninggal di tahun 1919 setara dengan kekayaan Djoko Susanto (bos Alfamart), yang merupakan orang terkaya nomor 12 di Indonesia.
Apa yang membuat Tasripin bisa sekaya itu? Dan, bukankah pribumi akan sangat kesulitan hidup di era penjajahan? Kenapa bisa ada crazy rich yang hidup di era itu?
Tasriepin, Raja Kulit, Wayang dan Es Batu
Tasriepin sebenarnya hidup sezaman dengan Oei Tiang Hiem, crazy rich lainnya dari Semarang. Oei Tiang Hiem adalah juragan Gula, sedangkan Tasriepin juragan kulit.
Tentara Belanda tidak ada yang berani dengan Tasriepin, karena Tasriepin adalah seorang yang punya hubungan akrab dengan Ratu Wilhelmina. Tasriepin bahkan terus mendapatkan hadiah uang koin emas berwajah Ratu Wilhelmina yang dijadikannya hiasan lantai.
Apakah itu untuk menunjukkan bahwa ia kaya, sehingga menanam koin emas sebagai "ubin" rumah? Ternyata, bukan itu alasan utamanya. Ketika tentara Belanda berani menyerang rumah Tasripin, maka mereka akan menginjak, membakar, bahkan menembaki koin berwajah ratu mereka sendiri. Itulah kenapa orang Belanda bahkan tidak berani masuk ke rumah Tasriepin, karena takut dianggap melecehkan simbol kerajaan mereka.
Ketika Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memerintahkan orang-orang terdekat mereka untuk menumpas pemberontak, Tasriepin menolak dengan tegas. Tasriepin tidak tertarik untuk bertempur dengan sesama pribumi. Hasilnya, hubungan antara pemerintah kolonial dan Tasripin merenggang.
Apa yang membuat Tasripin kaya? Ayahnya bernama Tasimin Kucer (Tassimin Koetjeer) adalah pengusaha kulit. Saat itu, usaha ayahnya adalah semacam usaha kecil dan menengah. Namun, di tangan Tasripin, usaha itu berubah menjadi perusahaan raksasa.
Pengusaha tas, sepatu, dan lain-lain, menggunakan kulit berkualitas tinggi dari pabrik milik Tasripin. Maka, Tasripin menjelma menjadi orang terkaya di Semarang, bersaing dengan sang raja gula Oei Tiang Hiem.
Namun Tasriepin berbeda, karena ia tetap berada di tanah airnya hingga meninggal. Sedangkan Oei Tiang Hiem pindah ke Singapura.
Membuka Usaha Jagal Hewan dan Pabrik Es Batu
Tasriepin akhirnya membuka usaha jagal hewan. Ia bahkan juga memiliki banyak peternakan untuk mendukung usaha jagal hewan tersebut. Dari usaha jagal hewan ini, bahan baku kulitnya menjadi sangat lancar. Hasilnya, bisnisnya berkembang pesat.
Selanjutnya, Tasriepin membuka pabrik es batu. Yah, mungkin bagi Anda es batu terkesan usaha yang remeh. Tapi, bisa bayangkan ada usaha es batu di era tidak ada kulkas? Setiap hari ada 800 pon es batu dihasilkan pabrik itu. Dan satu pon dihargai 5 sen.
Wilayah sekitaran pabrik kulitnya, semuanya dibeli oleh Tasriepin. Beberapa dijadikan rumah bagi para pekerja, beberapa lainnya menjadi usaha perkebunan dan peternakan. Wilayah tersebut saat ini menjadi daerah yang diberi nama Kampung Kulitan. Masjid raya Kampung Kulitan yang masih berdiri hingga saat ini dulunya pun didirikan oleh Tasriepin.
Tanah Tasripin juga berada di wilayah yang sekarang menjadi daerah Jerung Kingkit, Pederesan, Wot Prau, Gendingan, dan banyak lainnya. Tanah tersebut dibeli dari Belanda, dan kemudian dimanfaatkan sebagai pengembangan bisnisnya, wilayah perkebunan, hingga perumahan untuk pekerjanya.
Kekayaannya terus bertambah, pemasukannya mencapai 40 ribu gulden per bulan, atau sekitar 50 miliar rupiah. Hingga akhirnya ia meninggal di tahun 1919, usahanya dilanjutkan oleh anaknya bernama Tas An. Nama ini juga yang kemudian mendirikan Tasriepien Concern.
Definisi Tepat dari Frase Tujuh Turunan
Ada beberapa hal yang unik terjadi di kehidupan Tasriepin. Ia tidak mau hartanya jatuh ke orang lain, maka ia meminta pernikahan sedarah dari anak-anaknya. Dari dua istrinya, ia mendapatkan banyak anak. Dan pernikahan sedarah menjadi tradisi di para penerusnya.
Saat ini, keturunan Tasriepin telah mencapai keturunan ketujuh. Dan ternyata, kekayaannya memang masih belum habis, meski terus menyusut setiap tahunnya.
Berbeda dengan kehidupan orang terkaya di Indonesia lainnya, keluarga Tasriepin memang tidak begitu melanjutkan usaha Tasriepin. Maka, hanya keturunan pertama saja yang masih hidup dalam situasi "crazy rich". Keturunan di bawahnya, hidup dalam kondisi di mana kekayaan Tasriepin terus menyusut setiap tahunnya.
Sampai keturunan ketujuh hartanya yang terus menyusut itu masih juga belum habis, meski tanah dan kebun yang ditinggalkannya dilaporkan terus dijual dengan harga yang relatif lebih murah. Sepertinya, keturunan kedelapan nantinya akan menghabiskan semua kekayaan Tasripin yang melegenda tersebut. Maka Tasripin menjadi satu definisi dari "kaya tujuh turunan" yang biasanya terdengar seperti mitos ini.
Ada peninggalan lain dari Tasripin yang masih membekas hingga hari ini, yakni Wayang Tasripin yang diulas lebih dalam di Pojok Seni.
This post have 0 komentar