Salah satu fragmen dalam Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen |
Oleh: Samsul Rizal, M.Sn*
Ruang Tunggu dalam Tujuh Fragmen adalah karya teater yang mencoba sedikit menjelajahi sebuah belantara gaya teater yang masih cukup gelap, yaitu teater absurd. Melalui premis “bunuh diri” karya Ruang Tunggu berupaya untuk menemukan semacam definisi alternatif dari narasi absurdisme dalam ruang jelajah teater absurd yang tidak definitif.
Dari pondasi tersebut, sejumlah pertanyaan bisa diajukan pada karya ini. Apakah karya Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen bukanlah teater bergaya absurd, melainkan karya sastra absurd yang dipanggungkan? Lalu apakah Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen telah mampu mewujudkan absurditas di atas panggung, walaupun hanya dalam tujuh fragmen? Atau, apakah karya Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen telah berada pada koridor teater absurd yang benar? Upaya mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut kiranya adalah sebenar-benarnya “absurd”.
Alih-alih terperangkap dalam jerat lingkaran absurd yang komikal, tulisan ini lebih memilih berfokus pada impresi subjektif atas pola pengadeganan dalam karya Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen yang terformat dalam tujuh fragmen. Pada umumnya, premis absurdisme disusun dalam plot silkular untuk menegaskan bahwa perjuangan untuk memahami makna kehidupan adalah pekerjaan berulang yang sia-sia. Namun, sesuatu yang menarik terjadi di karya Ruang Tunggu, karena premis absurdisme diwujudkan dalam plot episodik.
Fragmen-fragmen yang dihadirkan seakan berdiri sendiri karena memiliki hubungan kausalitas yang lemah dan tidak berjalan secara kronologis. Konsekuensi logisnya adalah setiap fragmen dipahami secara terpisah dan tidak memiliki kesatuan dalam narasi besar. Strategi dramatik ini tentunya menarik untuk ditelusuri visi yang melandasinya.
Setelah mengalami Ruang Tunggu dalam Tujuh Fragmen, impresi yang dilahirkan adalah sebuah perasaan keterlemparan berkali-kali. Biasanya, teater absurd menyuguhkan kebosanan melalui persoalan yang berulang, namun Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen menawarkan rasa penasaran yang terpenggal akibat setiap persoalan hadir secara parsial dan tidak pernah tuntas.
Spektakel ini menghadirkan impresi alienasi yang lahir dari berbagai keterlemparan. Spektator dipaksa untuk tidak seutuhnya mengalami peristiwa, melainkan untuk terlepar dari peristiwa satu ke peristiwa lainnya. Keterlemparan ini akhirnya menghadirkan semacam kebingungan filosofis tentang makna yang sengaja tidak ingin tersingkap di balik berbagai fragmen. Kegagalan dalam upaya memahami makna inilah yang memaksa spektator untuk teralienasi dari narasi pertunjukan ke dalam montase-montase fragmen.
Perasaan terasing akibat keterlemparan berkali-kali ini kemungkinan telah menjadi visi yang melandasi pemilihan plot episodik. Meskipun impresi absurditas yang ditimbulkan tidak sekuat plot silkular, tetapi plot episodik menawarkan pengalaman “mengalami” absurditas yang baru. Analoginya adalah, Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen tidak menawarkan perasaan menjadi Sisyphus yang mendorong batu secara berulang, tetapi menawarkan perasaan menjadi Sisyphus yang selalu terlahir kembali untuk mendorong batu yang selalu berbeda. Strategi dramatik ini tentunya telah melengkapi mozaik dari teater absurd yang sebenarnya menolak untuk utuh.
Analoginya adalah, Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen tidak menawarkan perasaan menjadi Sisyphus yang mendorong batu secara berulang, tetapi menawarkan perasaan menjadi Sisyphus yang selalu terlahir kembali untuk mendorong batu yang selalu berbeda. Strategi dramatik ini tentunya telah melengkapi mozaik dari teater absurd yang sebenarnya menolak untuk utuh.
Menurut penulis, karya Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen ini tidak hanya telah mengantarkan Adhyra Irianto menjadi Magister Seni, tetapi juga telah menyematkan namanya menjadi salah satu sutradara di peta perteateran Indonesia yang secara intens memilih gaya absurd sebagai visi estetis dan kredo artistiknya.
Semoga, pada akhirnya nanti, proses kreatif beliau mampu memberikan corak khas untuk memperkaya teater Indonesia, khususnya teater bergaya absurd di Indonesia. Salam.
Informasi Pertunjukan:
Pertunjukan Ruang Tunggu dalam Tujuh Fragmen adalah karya teater yang ditulis dan disutradarai oleh Adhyra Irianto. Penciptaan karya ini dibawah bimbingan Dr. Benny Yohannes Timmerman, S.Sn., M.Hum. dan Dr. Yuyu Sukmawati Saleh, S.Pd., M.Si.
Pertunjukan ini merupakan ujian Tugas Akhir dengan minat Penciptaan Seni Teater di Pascasarjana ISBI Bandung. Karya teater yang berdurasi kurang lebih satu jam ini dihelat pada Senin (07/10/24) pukul 16.00 WIB di Gedung Rumentang Siang, Jawa Barat.
*Penulis adalah alumnus Pascasarjana Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, jurusan Pengkajian Seni.
This post have 0 komentar