close

Sunday, July 28, 2024

author photo
The Congo Dandies: Setelan mewah sebagai perlawanan pada hegemoni
The Congo Dandies: Setelan mewah sebagai perlawanan pada hegemoni (sumber foto: Pinterest)

Oleh: Adhyra Irianto


Republik Demokratik Kongo adalah negara dengan peringkat 4 termiskin di dunia, setidaknya menurut Global Finance. Negara ini "hanya" kalah miskin dari Sudan Selatan, Burundi, dan Republik Afrika Tengah. Negara ini bahkan lebih miskin dari Yaman yang terus-terusan diterpa perang. Dibandingkan dengan Indonesia yang berada di peringkat 90 sebagai negara termiskin, Republik Demokratik Kongo bahkan masih terlalu jauh di bawah.


Lebih dari 65 juta penduduknya (dari total 100 juta penduduk) berpenghasilan di bawah $2,15 perhari (sekitar Rp45.000). Atau, penghasilan perbulan penduduk negara ini rata-rata di bawah Rp1.300.000 per bulan. Kemiskinan yang melanda sebagian besar penduduk negara, tekanan diktator yang rakus, politik yang tidak stabil, serta kerusuhan yang kerap terjadi, menjadikan kehidupan di Republik Demokratik Kongo menjadi benar-benar sulit.


Di tengah kondisi serba mencekik seperti itu, muncul sekelompok pria yang menggunakan setelan mewah. Setelan yang digunakan adalah brand-brand kelas wahid dunia, lengkap dengan topi dan sepatu. Muncul selentingan dan pandangan negatif pada mereka (tidak hanya dari Kongo, tapi seluruh dunia). Yah, dianggap hanya sekumpulan orang "bodoh" yang mau hidup pas-pasan, kadang berpuasa dan tidak makan, demi bisa membeli pakaian mewah di tengah hidup yang sangat sulit di negara itu. 


Kelompok ini diberi nama The Congo Dandies. Dandies berarti pesolek pria. Atau, kamus Oxford menyebut dandies berarti pria yang "mengabdikan" dirinya pada mode dan penampilan secara berlebihan. Sedangkan di Kongo, mereka disebut (dan menyebut diri mereka sendiri) sebagai "La Sape". "Sape" merupakan singkatan dari Société des Ambianceurs et des Personnes Élégantes yang berarti kelompok orang-orang yang bergaya dan elegan.


Ketika cerita tentang The Congo Dandies ini menyebar ke seluruh dunia, banyak cemoohan datang pada mereka. Tapi, mereka bergeming, tidak terpengaruh sedikitpun. Ketika cerita kelompok ini disebarkan oleh media di Indonesia, maka cemoohan dari netizen Indonesia mengalir deras pada mereka. Wajar saja, sebagai negara yang mayoritas Islam, maka warga Indonesia menganggap apa yang dilakukan oleh sekelompok pria yang ingin tampil seperti bangsawan di Eropa ini adalah tindakan boros dan menghamburkan uang. Boros dan menghamburkan uang adalah dosa besar dalam Islam, apalagi mereka hidup di bawah garis kemiskinan dan sangat kekurangan. Pertanyaannya, kenapa mereka justru tetap "bersikeras" dengan jalan tersebut? Bahkan, "anggota" La Sape menjadi semakin banyak hingga saat ini?


Perlu dicatat bahwa anggota La Sape atau "sapeurs" ini tidak memiliki rumah, motor, atau harta lainnya. Tapi, mereka tidak punya pakaian "palsu", semuanya adalah produk asli. Ada sapeurs yang membeli setelan jas seharga Rp28 juta dengan menabung bertahun-tahun. Media di Indonesia menyebut tindakan mereka sebagai "berbahagia di tengah penderitaan", ada juga yang menyebut bahwa tindakan ini merupakan keinginan untuk menjadi trend-setter di komunitasnya, seperti disebut CNBC.


Apakah benar orang-orang ini "hanya" ingin jadi trend-setter, atau ingin tampil gaya, sehingga La Sape menjadi sub-kultur di salah satu negara termiskin di dunia ini?


Perlawanan Terhadap Hegemoni


The Congo Dandies: Setelan mewah sebagai perlawanan pada hegemoni
The Congo Dandies: Setelan mewah sebagai perlawanan pada hegemoni (sumber foto: Pinterest)


Kongo baru merdeka dari Belgia pada tahun 1960-an. Sedangkan gerakan La Sape sudah dimulai sejak ratusan tahun lalu. Saat itu, para pekerja keras yang bekerja pada bangsawan Eropa akan mendapatkan bayaran beras dan pakaian bekas. Maka, kaum pekerja perlahan mulai berdandan seperti bangsawan Eropa, dengan sepatu mengkilat, aksesoris bermerek, setelan jas yang mahal, dan semuanya serba mewah.


Itu adalah cikal bakal kelahiran La Sape. Mereka makan seadanya, namun berpakaian dengan mewah. Saat itu, kelas pekerja yang menggunakan pakaian mewah itu adalah kelompok yang lepas dari kategori "orang miskin", dan masuk kategori sebagai "pekerja rajin". Ini poin pertama, gerakan La Sape adalah penolakan pada status "miskin" yang melekat pada diri mereka.


Selain itu, fenomena La Sape bukanlah hal yang bisa dilihat dari satu perspektif. Ini adalah masalah psikologis; tentang perlawanan pada hegemoni, hasrat diri untuk dihargai, serta naiknya status sosial seseorang dengan apa yang digunakannya.


Sebab, Kongo bukan miskin karena ketiadaan sumber daya alam. Kongo menjadi negara miskin karena setelah lepas dari penjajahan Belgia tahun 1960, mereka masuk pada "penjajahan" diktator bernama Mobutu pada tahun 1965 dan mengganti nama negara tersebut menjadi Zaire. Konflik politik terjadi di mana-mana, hingga Mobutu diturunkan paksa pada tahun 1997. Tahun 1998, perang kembali berkecamuk di Republik Demokratik Kongo hingga jutaan orang meninggal. 


Presiden Joseph Kabila memerintah negara tersebut di tahun 2001, berhasil meredam peperangan hebat di negara tersebut. Namun, bagian timur negara tersebut, yakni daerah Kivu, masih tetap terlibat perang hingga 2015. Penculikan, penyiksaan lawan politik, dan tindakan pemenjaraan tanpa keadilan, kebebasan sipil yang dibatasi negara, serta tindakan pelanggaran HAM lainnya masih menjadi isu utama di negara tersebut hingga tahun 2015. Bisa dibilang, negara ini baru mulai "hangat" (dari sebelumnya panas dan membara) pada tahun 2018. 


Sejak tahun itu, negara ini baru mulai perlahan menata kembali negaranya; membangun infrastruktur, meredam ketidakstabilan politik, dan sebagainya. Tapi, korupsi masih merajalela di semua lini, sehingga negara ini belum cukup mampu untuk keluar dari semua kesulitan. Hasilnya adalah, negara ini masih sangat miskin sampai akhirnya dunia menghadapi Covid-19.


Republik Demokratik Kongo memiliki sumber daya alam yang sangat besar, bahkan terbesar di Afrika. Negara ini merupakan produsen kobalt dan tembaga terbesar di Afrika, dengan China dan Amerika sebagai pembeli terbesarnya. Kobalt dan Tembaga adalah bahan penting dalam produksi barang-barang elektronik, terutama kendaraan listrik. Dengan potensi sebesar itu, tidak salah kalau Bank Dunia menyebut Republik Demokratik Kongo bisa menjadi salah satu negara terkaya di dunia, atau setidaknya negara terkaya di Afrika apabila pengelolaan sumber daya tersebut dilakukan dengan sebaik mungkin.


Fashion Melawan Hegemoni


The Congo Dandies: Setelan mewah sebagai perlawanan pada hegemoni
The Congo Dandies: Setelan mewah sebagai perlawanan pada hegemoni (sumber foto: Pinterest)


Percaya atau tidak, salah satu yang membuat Belgia gerah dan melepaskan Kongo yang kaya sumber daya alam ini, adalah karena perlawanan balik dari La Sape lewat fesyen. Seakan-akan mereka berkata di balik setelan jas mewah itu; "kalian tidak lebih tinggi dari kami sebagai manusia hanya karena terlihat elegan, karena kami juga bisa tampil elegan seperti kalian."


Setelah merdeka, Belgia sebagai "mantan" penjajah menganggap Kongo tidak akan berhasil mendirikan negara sendiri. Seperti bagaimana penjajah Indonesia menyebut pribumi dalam "Bumi Manusia" karya Pramoedya; "Bagaimana segerombolan monyet ini bisa mendirikan negara sendiri? Cara berpakaian saja mereka tidak tahu!"


La Sape menjawab pernyataan tersebut dengan gaya yang elegan. "Kalian merasa bisa membangun sebuah negara di balik pakaian necis dan formal itu? Kami juga bisa!


Karena itu, bagi Sapeurs, apa yang mereka lakukan bukan sekadar "fesyen". Tapi, adalah filosofi hidup dan estetika. Ini adalah bentuk perlawanan psikologis, sebuah bentuk spiritualitas yang filosofis dan artistik. La Sape adalah perlawanan pada hegemoni, identitas diri, dan sekaligus cara mereka menjaga martabat dan harga diri.


Tafsir Analogis


The Congo Dandies: Setelan mewah sebagai perlawanan pada hegemoni
The Congo Dandies: Setelan mewah sebagai perlawanan pada hegemoni (sumber foto: Pinterest)

Apakah kita tidak pernah melakukan hal yang dilakukan La Sape? Pertanyaan dari jawaban ini adalah; "Ya! Kita pernah melakukannya, tapi tidak seekstrim La Sape".


Bagaimana seseorang bisa menjual barang-barang seharga miliaran rupiah, tapi mengenakan jam tangan palsu atau murah? Bila Anda adalah seorang milioner, apakah Anda bisa percaya dengan keotentikan dari barang-barang yang mereka jual?


Apakah Anda bisa percaya untuk membeli skincare dari seorang yang wajahnya kusam dan tidak bercahaya? Atau, apakah Anda bisa yakin untuk bekerjasama dengan nilai kontrak hingga miliaran rupiah dengan seorang yang datang ke perusahaan Anda membawa map kertas dan proposal yang dijilid plastik? 


Yah, apa yang digunakan seseorang (kostum) adalah bagian dari tuntutan peran yang dia pilih sendiri. Begitu konsep dramaturgi sosial ala Erving Goffman. Pakaian yang digunakan adalah baju zirah atau pakaian tempur yang harus dipilih secara hati-hati. Seorang anak yang berpakaian rapi saat ke sekolah, memberi kesan bahwa ia adalah orang yang rajin belajar, ketimbang seorang anak yang berpakaian tidak rapi.


Seorang perempuan yang berhijab memberi identitas relijiusitas dirinya pada publik. Seorang yang tampil seksi dan terbuka, juga memberi gambaran sifat keterbukaannya pada publik. Seseorang membeli sepeda motor seharga miliaran untuk memberi tahu orang lain kisaran berapa penghasilannya per bulan. Seperti itu, bagaimana kostum dan make-up (sebagai turunan dari fesyen) menjadi filosofi, identitas, dan harga diri dari seseorang, bukan?


Apakah seseorang yang menggunakan kaos bergambar band metal misalnya, adalah seorang yang rebel dan memberontak juga? Bisa jadi ia bukan orang seperti itu. Tapi, ia ingin menampakkan pada dunia, karakter yang menjadi "avatar"nya di dunia.


Begitu juga dengan La Sape. Pakaian mewah dan mahal yang mereka kenakan adalah simbol perlawanan, filosofi hidup, juga harga diri mereka yang sudah sejak tahun 1885 diinjak-injak kekuatan lain di luar tubuhnya.


Referensi:


  • Sadiyah, H. (n.d.). Mengenal komunitas La Sape di Kongo, Hidup Miskin Tapi Gaya. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20230217091056-33-414627/mengenal-komunitas-la-sape-di-kongo-hidup-miskin-tapi-gaya 
  • Tercelanya Gaya Hidup Mewah Dan Boros. MA’HAD AL-JAMI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU. (n.d.). https://mahad.uin-suska.ac.id/2016/08/16/tercelanya-gaya-hidup-mewah-dan-boros/ 
  • Ventura, L. (2024, May 14). Poorest countries in the world 2024. Global Finance Magazine. https://gfmag.com/data/economic-data/poorest-country-in-the-world/ 
  • Hamilton, R. T., & Ramcilovic-Suominen, S. (2023). From hegemony-reinforcing to hegemony-transcending transformations: Horizons of possibility and strategies of Escape. Sustainability Science, 18(2), 737–748. https://doi.org/10.1007/s11625-022-01257-1 
  • Sumiyana, S., Hendrian, H., Jayasinghe, K., & Wijethilaka, C. (2021). Public Sector Performance Auditing in a political hegemony: A case study of indonesia. Financial Accountability & Management, 39(4), 691–714. https://doi.org/10.1111/faam.12296 
  • Asamoah, M. K., Nketiah-Amponsah, E., Danquah Ansong, J., & Agyekum, B. (2023). Education dimensions relevant to successful electronic levy mobilization in resource-rich yet poor countries in Africa. Cogent Business &Management, 10(3). https://doi.org/10.1080/23311975.2023.2276540 
  • Goffman, Erving. 1959. The Presentation of Self in Everyday Life . Doubleday Anchor: Garden City, New York
  • Oxford University Press. (2022, September). Dandies. In Oxford English dictionary. Retrieved June 6, 2023.

This post have 0 komentar

Next article Next Post
Previous article Previous Post