Pojok Review - Close (2022) adalah drama coming of age yang
disutradarai oleh Lukas Dhont – penampilan keduanya sebagai sutradara setelah
film debutnya Girl (2018). Film ini dibintangi oleh Eden Dambrine sebagai Léo,
Gustav de Waele sebagai Rémi, Emilie Dequenne sebagai Sophie dan Léa Drucker
sebagai Nathalie. Sejak ditayangkan difestival, film ini telah meraih banyak
penghargaan: Grand Prix Festival Film Cannes, Penghargaan André Cavens untuk
Film Terbaik (Belgia), dan hadiah utama Festival Film Sydney. Film ini juga
layak mendapatkan Oscar ‘Best International Feature’.
Di Indonesia, Close telah menjadi perbincangan hangat sejak pertama kali rilis dan banyak menuai respon masyarakat terutama laki-laki, mereka mengaku merasakan sedih yang mendalam setelah menonton film ini. Close diawali dengan kisah persahabatan manis dua remaja laki-laki berumur 13 tahun (Leo dan Remi). Menyoroti Leo dan Remi yang sering bermain bersama, berlarian melintasi ladang bunga milik keluarga Leo, bersepeda, makan bersama, berangkat dan pulang sekolah bersama. Adegan ditampilkan dalam tone warna cerah, menyalurkan kehangatan persahabatan mereka ke para penonton.
Afeksi dan saling mengasihi selalu hadir diantara
mereka berdua. Leo dan Remi kerap berbagi pelukan, duduk dan saling
menyandarkan kepala di bahu satu sama lain, tidur di ranjang yang sama, serta
bergandengan tangan. Rasa sayang yang mereka berikan satu sama lain sudah
menjadi bagian dari kehidupan mereka sejak kecil, menyuplai kebahagiaan
di kehidupan mereka.
Namun, persahabatan mereka harus diuji ketika mereka mulai masuk sekolah, kehangatan yang ada mulai memudar seiring dengan pandangan dan perilaku yang diberikan teman sekelas mereka terhadap keintiman hubungan Leo dan Remi. Teman-teman mereka memandang kedekatan pertemanan Leo dan Remi sebagai sebuah keanehan atau penyimpangan. Sebuah anomali yang patut dipertanyakan. Dalam suatu momen ketika para siswa berkumpul bersama di hari pertama, teman-teman perempuan mereka sudah melontarkan pertanyaan apakah Leo dan Remi berpacaran sedangkan para remaja laki-laki menatap aneh kedekatan mereka. Leo yang tumbuh di dalam keluarga yang tidak menghakimi ekspresi-ekspresi emosional dan bentuk-bentuk afeksi pun kaget mendengar pertanyaan itu, dibesarkan di lingkungan yang hangat membuat Leo terbiasa dengan afeksi sedangkan stigma masyarakat berkata lain.
Leo menentang dengan keras bahwa ia dan Remi hanya berteman dekat dan bukan pasangan. Ia menjelaskan bahwa ia memang sudah berteman sejak kecil dengan Remi sehingga mereka menjadi begitu dekat. Tapi seberapa keras Leo berusaha meyakinkan, teman-temannya tidak ada yang percaya bahwa mereka hanya berteman, di mata mereka tidak ada pertemanan antara dua laki-laki yang begitu intim.
Hal ini semakin membuat Leo menjadi tidak nyaman ketika teman laki-laki mereka juga berpikir hal yang sama dan mulai menatap Leo dan Remi dengan tatapan yang mengatakan bahwa mereka jijik. Disertai kekerasan verbal, mereka mulai merundung Leo dan Remi dengan lontaran-lontaran homophobik, yang tentunya membuat Leo merasa mulai risih dan tidak nyaman. Di sinilah kerenggangan persahabatan Leo dan Remi dimulai. Karena pandangan-pandangan teman-temannya, Leo akhirnya mulai menjauhi Remi. Ia mulai tidak ingin dekat-dekat lagi dengan Remi, menjaga jarak dan tidak pernah menginap lagi di rumah Remi, tidak lagi menunggu untuk berangkat bersama dan mulai berteman dengan remaja-remaja yang merundungnya. Berharap ia tidak lagi dipandang aneh dan menjijikan, berusaha meyakinkan mereka bahwa ia adalah remaja lelaki normal yang sama dengan remaja lainnya, dan benar-benar menjauhi Remi, menolak kehadiran teman kecilnya itu.
Apa yang dialami Leo menunjukkan adanya stigma terhadap laki-laki yang berkembang di masyarakat dan menjadi sebuah hegemoni maskulinitas. Dalam buku Masculinities karya R.W Connell seorang sosiolog Australia menjelaskan bahwa hegemoni maskulinitas tidak hanya menumbuhkan hierarki kekuasaan laki-laki terhadap perempuan, melainkan juga bentuk usaha memisahkan laki-laki dari sifat-sifat feminin yang dibangun melalui nilai-nilai heteroseksual. Oleh karena itu, hal ini sangat bergantung kepada toxic masculinity yang dominan di mana laki-laki menggunakan kekuatan mereka, mendominasi dan menegakkan kekuasaan atau superioritas.
Dalam hegemoni maskulinitas, menjadi maskulin berarti tidak
menjadi feminin baik dalam penampilan maupun sikap. Hal ini tidak diungkapkan dan dipertahankan
melalui bentuk emosional dan afeksi. Justru ia diungkapkan dan dipertahankan melalui
perlawanan, kekuatan fisik, dan mengabaikan sisi lemah dari seseorang tersebut.
Masyarakat cenderung mendisiplinkan laki-laki yang tidak
sesuai dengan aturan masyarakat atau standar maskulinitas yang ada (mereka yang
cenderung feminin), dengan cara menerapkan maskulinitas toksik yang berarti
memisahkan sisi emosional dari laki-laki, mereka akan diberikan sanksi sosial
seperti dalam kasus Leo dan Remi mereka dirundung dengan cacian homophobik yang
akhirnya menghancurkan persahabatan mereka yang sudah terjalin sejak kecil.
Sangat disayangkan, toxic masculinity ini dapat berdampak
buruk terhadap psikologis laki-laki. Dalam Close, sutradara menggambarkan hal
ini dari tokoh Leo yang akhirnya dalam
ilmu psikologi mengalami normative male
alexythimia. Ia tidak dapat mengekspresikan dan mengelola perasaan-perasaan
yang ada dalam dirinya, ia tidak dapat menyalurkan emosi dengan leluasa. Ketika
Remi bertanya apakan Leo senang dengan rutinitas barunya bersama kelompok
remaja yang lain, Leo tidak bisa menjawab apakah ia senang atau tidak atau
justru sebenarnya ia kesepian. Bahkan setelah insiden yang menyebabkan Remi
meninggal, ia tidak dapat menangis disaat ia sedang kehilangan. Leo menolak
segala afeksi yang diberikan dan menahan semua perasaan yang ada sebagai bentuk
mempertahankan maskulinitas yang juga didorong oleh toxic masculinity yang ada
di lingkungannya. Itulah mengapa pada akhirnya angka bunuh diri dan penderita
gangguan mental kebanyakan adalah laki-laki, karena masyarakat membuat mereka
menekan emosi dan tidak mengungkapkan perasaan mereka sebagai bentuk maskulinitas,
bahwa menjadi emosional, menangis dan saling menunjukkan kasih sayang hanyalah
sifat yang boleh dimiliki oleh perempuan.
Close didukung dengan penyajian sinematik dan keaktoran yang layak mendapatkan pujian pada akhirnya menyajikan kisah yang melankolis, hingga kesedihan yang mendalam. Emosi-emosi yang ditunjukkan oleh Leo dan Remi pada narasi-narasi hening membuat kita tersadar betapa toxic masculinity yang berkembang dalam masyarakat kita dapat menggerus sisi kemanusiaan kita. Ketika remaja perempuan bergandengan tangan dan berpelukan di ruang publik, dijamin tidak akan timbul pertanyaan macam-macam. Namun, ketika dua remaja laki-laki melakukan hal yang sama, banyak orang akan mempertanyakan hubungan mereka yang diasumsikan lebih dari sekadar sahabat. Pada dasarnya bukankah baik perempuan dan laki-laki keduanya adalah manusia, yang diciptakan dengan pikiran, perasaan, cinta dan afeksi yang layak dibagikan bersama orang-orang tersayang?
This post have 0 komentar