Lewat buku berjudul Surabaya 1945: Sacred Territory yang terbit tahun 2013 lalu, yang ditulis seorang jurnalis bernama Frank Palmos, diketahui bahwa sebenarnya ada sebuah negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia. Pengakuan tersebut tidak dilakukan dengan mudah, mengingat tahun 1945-1949, masih banyak pergolakan dan perang, serta agresi militer dilakukan Belanda.
Mungkin selama ini kita mendengarkan narasi-narasi bahwa ada beberapa negara-negara lain yang juga disebut sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Namun, lewat buku hasil riset Frank Palmos tersebut, ternyata kejadian di tahun 1945 menunjukkan fakta yang lain.
Buku tersebut sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, dengan penerjemah bernama Johannes Nugroho, bagi Anda yang ingin membaca buku tersebut versi bahasa Indonesia (Versi bahasa Indonesia, berjudul Surabaya 1945: Sakral Tanahku, terbit tahun 2016). Diceritakan lewat riset sejarah di buku tersebut, bahwa seorang diplomat asal negeri Kanguru bernama William Mcmahon Ball datang memimpin delegasi Canberra, tepat dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Delegasi tersebut ditunjuk dan diutus oleh Menteri Luar Negeri Australia saat itu, HV Evatt, mengikuti perintah dan arahan dari Perdana Menteri Australia, Ben Chifley. (baca: Journey to Jakarta: Australia’s Forgotten First Attempt to Recognise Indonesia)
Yah, negara yang pertama kali datang untuk mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia ialah Australia. Ini menarik, mengingat Australia ialah negeri persemakmuran Inggris, serta dipimpin langsung oleh Ratu Inggris sebagai kepala negara. Sedangkan kepala pemerintahannya saat itu ialah Perdana Menteri, Ben Chifley yang memberi mandat pada Menlu HV Evatt untuk mengirim delegasi ke Indonesia. Yah, seperti yang disebut di atas, delegasi Canberra tersebut dipimpin oleh William Macmahon Ball.
Tapi, prosesnya tidak semudah itu. Karena pada saat itu terjadi perang Surabaya antara RI melawan Inggris yang didukung oleh sekutu. Rombongan delegasi Canberra tiba di Indonesia melalui Bandara Kemayoran, tepat di awal bulan Oktober 1945. Saat itu, keadaan RI masih cukup mencekam. Namun niat Australia untuk mendukung berdirinya RI dan lepas dari cengkeraman kolonisasi masih cukup kuat.
William MacMahon Ball |
Macmahon Ball dan delegasi yang dipimpinnya bahkan sempat berkeliling ibukota RI, tujuannya melihat keadaan terlebih dulu. Saat itu, Macmahon Ball sudah mengatur rencana untuk bertemu dengan para pimpinan republik baru tersebut. Macmahon juga diberi tugas oleh pemerintah Australia untuk mendirikan konsulat jenderal atau kedutaan Australia. Mereka juga akan sudah mendorong Belanda agar mengakui kedaulatan RI serta bekerja sama seperti negara-negara merdeka pada umumnya.
Tapi pihak Inggris yang sedang berperang di Surabaya bersama sekutu mengetahui kedatangan Macmahon Ball. Inggris kemudian mencabut izin perjalanan Macmahon Ball dan delegasinya, lalu menjemput mereka dengan pesawat terbang militer. Rombongan Macmahon Ball dan delegasinya tidak dikembalikan ke Australia, tapi justru ditahan di Singapura.
Penjemputan delegasi Australia tersebut berimbas juga di negeri asalnya. Sejumlah penduduk Australia, dan juga para warga Indonesia yang berada di Australia menggelar demo besar-besaran menuntut agar pemerintah Australia mendukung kedaulatan dan kemerdekaan RI. Salah satu caranya ialah mengirim kembali delegasi yang tertahan di Singapura untuk bertemu pimpinan Republik Indonesia.
Salah satunya di bulan Oktober 1945 (bahkan sejak September 1945), terjadi pemboikotan ratusan kapal milik Belanda yang merapat ke Australia. Kapal tersebut tadinya sudah diisi dengan persenjataan dan siap menyerang Indonesia, membantu Inggris dan sekutu menggempur Surabaya. Namun, pekerja maritim Australia menghalangi dan mencegah kapal tersebut berangkat dari Australia menuju Indonesia.
Para pelaut Indonesia yang bekerja di kapal Belanda langsung turun dari kapal dan menyatakan mogok. Pelaut-pelaut lain, terutama yang berasal dari Tiongkok (China) juga melakukan hal yang sama, mendukung pelarangan tersebut. Sejak saat itu, demo yang dilakukan Australia meluas hingga gerakan buruh, sampai akhirnya Pemerintah Australia juga ikut mengambil sikap. (sumber: Seventy Years of Indonesia Independence, Sea Museum Australia)
Karena dukungan Australia tersebut bermula dari hari pelarangan kapal Belanda untuk menggempur Indonesia, maka hari tersebut disebut sebagai Black Ban atau Hari Larangan Hitam. Hal itu disebut dalam dokumentasi Sea Museum Australia. Nama larangan hitam tersebut disebabkan para buruh, pelaut, dan pekerja Australia dalam aksinya memboikot kapal Belanda menempelkan banyak selebaran yang bertuliskan: "Boycott the Ducth. Everything Dutch is Black!" (Boikot milik Belanda. Semua milik Belanda adalah hitam)
Salah satu contoh selebaran boikot yang didokumentasikan oleh Sea Museum Australia adalah berikut ini:
Hal itu terjadi tepat beberapa waktu sebelum berkobarnya perang 10 November 1945 di Surabaya. Perang hebat itu menjadikan Inggris dan sekutunya hanya fokus untuk meredam perlawanan hebat Surabaya tersebut. Tepatnya, tanggal 7 November 1945, semua pasukan Inggris baik yang berada di Jakarta maupun daerah lainnya, berangkat ke Surabaya. Hal itu disebabkan ultimatum panglima Inggris bernama Philip Christison yang akan menggempur Surabaya dari darat, laut dan udara pasca kehilangan seorang perwira mereka , AWS Mallaby.
Situasi itu dimanfaatkan oleh Australia, karena pengawasan Inggris menjadi lebih longgar. Tanggal yang sama, 7 November 1945, delegasi Canberra datang kembali ke Jakarta dan tiba di hari yang sama. Tidak pakai tunda-tunda lagi, mereka langsung menemui Perdana Menteri RI, Sutan Sjahrir dan langsung menyatakan bahwa Australia mengakui kedaulatan dan kemerdekaan RI. Serta, mereka bersiap untuk memulai hubungan diplomatik secara formal dengan RI.
Maka, tiga hari sebelum meletusnya perang Surabaya, Australia menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan dan kemerdekaan RI (untuk kedua kalinya, setelah Oktober 1945). Meski demikian, pengakuan kedaulatan dari Australia yang diakui dunia ialah tanggal 27 Desember 1949, karena di hari itu adalah hari penyerahan kedaulatan RI oleh Belanda, sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar di hari yang sama. Australia ialah negara pertama yang mengakui kedaulatan RI, tepat di hari yang sama dengan Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
Dukungan Australia ke Indonesia masih belum berhenti
Ternyata, setelah pengakuan tersebut, Australia masih belum berhenti mendukung kemerdekaan Indonesia. Australia terus mendesak pemerintah Belanda yang berada di Indonesia melalui delegasi Macmahon Ball sejak tahun 1945. Australia juga mendesak Belanda melakukan perundingan dengan Indonesia. Bahkan, Australia juga mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengambil tindakan ketika agresi militer Belanda pertama ke 1947.
Itu juga masih belum selesai. Tahun 1949, ketika terjadi agresi militer kedua, Australia menggalang negara-negara di Asia untuk memprotes tindakan Belanda lewat konferensi di New Delhi, India. Utusan Australia juga mendatangi pulau Bangka ketika Sukarno dan Hatta diasingkan ke Bangka.
Tahun 1945, siaran pertama radio Republik Indonesia, Sutan Sjahrir yang berbicara di siaran tersebut. Apa yang dikatakan Sutan Sjahrir dalam siaran pertama radio RI tersebut? Yah, Sutan Sjahrir berkata pada orang-orang Australia, bahwa ia mewakili RI sangat berterima kasih atas apapun yang dilakukan Australia (baik di Australia, di Indonesia, maupun di dunia internasional) untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Sutan Sjahrir berjanji, RI dan Australia bisa terus bersahabat sebagai negara tetangga, juga Indonesia akan melakukan perlindungan pada Australia apabila suatu hari terjadi konflik. (sumber: Australian Waterfront Workers Support Indonesian Independence Againts the Dutch)
This post have 0 komentar