pojokreview.com - Beberapa agama, seperti Islam, Yahudi, dan beberapa lainnya mengharamkan makan daging babi. Tentunya ada alasan yang kuat melatari hal tersebut. Selain dengan berbagai alasan yang sering Anda dengarkan, seperti babi hewan kotor, dan sebagainya, tentunya masih ada hal lain yang lebih kuat mendasari pelarangan makan daging babi ini.
Tahukah Anda, bahwa pelarangan makan daging babi sebenarnya tidak hanya dimulai era kelahiran Islam yakni tahun 610 M, tapi sudah jauh berabad-abad sebelum itu. Satu fakta penting ialah, babi merupakan hewan yang sudah didomestifikasi dan dikonsumsi di Timur Tengah sejak tahun 7000 SM. Yah, abad ke-7 sebelum masehi, babi menjadi hewan yang cukup banyak dipelihara dan dikonsumsi Timur Tengah, tempat lahirnya agama yang melarang makan babi. Bagaimana bisa saat ini tidak ada satu ekorpun babi di semenanjung Arabia?
Penggalian arkeologis di berbagai lokasi di Timur Tengah, hingga ke Afrika Utara (Mesir), cukup banyak menemukan sisa tulang belulang babi. Rata-rata usia tulang belulang babi tersebut ialah 3 - 7 abad. Pada saat yang bersamaan, bahkan 1000 tahun lebih dulu, daratan Tiongkok justru mendomestifikasi ayam dan mengonsumsinya.
Namun menjelang abad ke-1 SM, tulang belulang babi justru sangat sulit ditemukan. Intinya, sangat sulit menemukan sisa tulang belulang babi yang umurnya 1-2 abad. Itu berarti, abad ke-2 SM hingga saat ini, daging babi sudah sangat sedikit dikonsumsi di Timur Tengah.
Ada beberapa alasan pelarangan babi di beberapa abad sebelum masehi tersebut. Pertama, dibandingkan hewan-hewan lain yang juga didomestifikasi seperti sapi, kambing, dan domba, justru babi adalah yang paling banyak dipelihara, serta paling murah harga dagingnya. Justru, kebanyakan peternak babi hanya menjual lemak babi untuk menjadi bahan parfum, dan mengonsumsi sendiri daging babi. Daging babinya, lebih banyak digunakan untuk bahan barter, seperti ditukar dengan susu, beras, mentega, dan sebagainya.
Daging yang paling mahal adalah daging sapi. Sedangkan domba dan kambing berada di urutan nomor dua. Karena itu, muncullah stratifikasi sosial berdasarkan makanan di Timur Tengah, khususnya di Mesir Kuno.
Firaun dan para bangsawan era Mesir kuno mengonsumsi daging sapi. Kambing dan domba dikonsumsi oleh tentara kerajaan, pendeta atau pemuka agama, dan orang-orang kaya. Sedangkan masyarakat jelata hanya mampu untuk makan daging babi. Ini menghadirkan semacam pelarangan tidak langsung bagi masyarakat menengah ke atas untuk tidak mengonsumsi babi. Karena mengonsumsi babi akan "menyamakan" mereka dengan masyarakat jelata.
Pelarangan Makan Babi Makin Keras
Hal itu dianggap sebagai titik mula pelarangan makan daging babi. Para raja, bangsawan, kaum pendeta atau pemuka agama, orang kaya, prajurit kerajaan, dan kaum menengah ke atas lainnya terus mengampanyekan pelarangan makan daging babi.
Meski ada catatan bahwa di zaman Firaun Amenhotep III (meninggal 1349 SM) dan Sety I, tercatat ada aturan yang memperbolehkan babi dipelihara, meski di dekat kuil sekalipun. Dulu, sempat ada semacam ritual pengorbanan manusia digelar di kuil, namun kemudian semua pengorbanan yang ditujukan untuk Dewa, perlahan diganti dengan babi.
Selain itu, bersamaan dengan ada catatan Firaun yang memperbolehkan babi dipelihara, juga ditemukan catatan lainnya bahwa babi dilarang masuk ke kuil. Tentu, Anda sudah menebak apa penyebabnya bukan? Yah, karena babi dianggap hewan yang kotor atau tidak suci. Maka, hanya orang-orang yang tidak suci saja yang memakan babi. Beberapa kuil akan membatalkan ibadah ketika melihat ada babi yang menginjakkan kaki di lantai kuil tersebut.
Beberapa tahun kemudian, bangsa Mesir kuno benar-benar menolak babi. Sebab, ada Dewa Kekacauan bernama Seth yang merebut tanah Mesir kuno yang dikuasai Dewa Osiris. Karena itu, setiap kekacauan, bencana, dan sebagainya dianggap ulah Dewa Seth. Meski pada akhirnya Seth dikalahkan oleh Horus (putra dari Osiris) namun Seth selalu dianggap sebagai biang kekacauan yang akan merebut kembali tanah Mesir kuno.
Hasilnya, muncul ritual pengorbanan babi di sungai Nil untuk menjaga agar Dewa Seth tidak lagi membuat kekacauan. Bagaimana ritualnya? Seekor babi akan dipotong-potong secara brutal hingga tubuhnya hancur remuk dan berukuran kecil-kecil. Potongan-potongan kecil itu akan dilemparkan ke sungai. Ternyata, seperti itu cara Seth membunuh Osiris dulu, dipotong-potong sampai berkeping-keping, secara brutal.
Kenapa babi yang dikorbankan? Yah, Seth adalah dewa dengan wujud separuh manusia dan kepalanya adalah hewan yang mirip anjing, juga mirip babi hutan. Kedua hewan tersebut, baik anjing maupun babi hutan menjadi hewan yang dilarang untuk dikonsumsi, bahkan juga dilarang untuk menginjak lantai kuil.
Meski sudah seperti itu, namun babi masih dikonsumsi banyak orang. Utamanya, masyarakat kelas bawah. Hal itu tetap bertahan hingga tahun 1000 SM. Kedatangan ayam dari Tiongkok mengubah hal tersebut selamanya.
Ayam lebih murah, lebih mudah dipelihara, dan juga tidak perlu tempat yang jorok seperti lumpur, yang sering digunakan ketika memelihara babi. Ayam juga menghasilkan telur, yang tidak dihasilkan oleh babi. Hasilnya, perlahan-lahan, domestifikasi ayam mulai menggeser posisi babi di masyarakat kelas bawah. Babi juga tetap (terlanjur) dicap sebagai hewan tak suci, kotor, dan menjijikkan.
Sampai akhirnya beberapa agama samawi turun, dua di antaranya yakni Yahudi dan Islam dengan tegas menjadikan babi sebagai salah satu hewan yang sangat dilarang untuk dimakan. Hal itu justru termaktub dalam kitab suci, sehingga tak perlu alasan bagi pemeluk agama tersebut untuk mengharamkan babi.
Meski demikian, lebih banyak alasan atau argumen "kesehatan" yang dimunculkan sejumlah pakar atau ahli agama, ketimbang sosio-kultural di Timur Tengah. Padahal, dari segi kesehatan, daging babi memang buruk bagi tubuh dan membawa penyakit mematikan. Namun, bukan hanya daging babi, tapi daging sapi, domba, rusa, unta, kambing, hingga kelinci sekalipun juga sama saja.
Mengharamkan babi tentunya jauh lebih mudah dilakukan di Timur Tengah, mengingat sejak ribuan tahun sebelum masehi, babi sudah mendapat predikat sebagai hewan tidak suci, kotor, dan hanya dikonsumsi oleh "rakyat miskin".
This post have 0 komentar