Royadin, polisi jujur yang menilang Raja Yogyakarta |
PojokReview - Tentunya Anda pernah mendengar bahwa Sri Sultan Hamengkubuwono IX pernah ditilang, bukan? Nah, polisi yang menilang raja Yogyakarta tersebut bernama Royadin. Kejadian tersebut terjadi pada tahun 1969, tepatnya pukul 05.30 WIB pagi hari.
Cerita bermula ketika Sri Sultan mengendarai mobilnya sendiri dari Tegal menuju Yogyakarta. Ketika melewati Pekalongan (Jawa Tengah), Sri Sultan melewati perempatan toko dan tanpa sengaja masuk ke jalur verboden (jalur yang dilarang).
Seorang polisi melihat pelanggaran tersebut, akhirnya segera mendekati mobil Sri Sultan. Sri Sultan berhenti.Brigadir polisi memberikan hormat lalu berkata, "Selamat pagi pak, bisa saya lihat rebuwesnya (SIM)?"
Sri Sultan membuka jendela, lalu memberikan rebuwes miliknya, lalu saat itu brigadir polisi sempat panik. Orang yang ditilangnya adalah perwira tinggi TNI berpangkat Brigadir Jenderal alias bintang satu. Bukan cuma jenderal biasa, tapi orang yang ditilangnya adalah Raja Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX saat muda |
Brigadir Royadin sempat dilema, ketika Sri Sultan bertanya apa penyebab mobilnya dihentikan.
"Mohon maaf sinuwun sudah melanggar verboden. Mari kita melihat rambu yang sudah sinuwun langgar," nada Brigadir Royadin sangat sopan, karena ia sudah menyadari dengan siapa ia berhadapan.
Jawaban Sri Sultan mengejutkan Royadin. Sri Sultan justru berkata, bahwa ia memang salah. Ia bahkan menolak untuk melihat rambu yang telah dilanggar tersebut, karena yakin bahwa ia memang salah sehingga harus dihentikan polisi. "Ndak usah, saya yang salah, dan kamu benar. Jadi sekarang bagaimana?"
Siapapun yang berada di posisi Brigadir Royadin tentunya pasti salah tingkah. Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah seorang raja, jenderal bintang 1 sekaligus salah seorang pahlawan negeri ini. Apa yang harus ia lakukan?
Bila ia membiarkan, maka ia adalah seorang polisi yang tidak disiplin dalam menjalankan tugas. Tentu akan dilema bukan?
Sri Sultan sempat bersikeras bahwa ia bersalah dan memang harus ditilang. Ia juga tidak memperkenalkan dirinya sebagai jenderal, atau pahlawan, atau raja pada Royadin, meski Royadin mengenalinya dengan baik. Akhirnya, Royadin, meski seorang polisi muda dan masih berpangkat Brigadir, namun ia memilih hal yang berani, bahkan berisiko bagi dirinya.
"Mohon maaf, sinuwun saya tilang," itu jawaban Royadin. Ia menulis surat tilang dengan gelagapan, lalu dengan gemetaran memberikan surat tilang tersebut pada Sri Sultan.
Royadin menunggu apa yang akan dilakukan jenderal TNI, juga seorang raja, sekaligus pahlawan nasional ini dengan surat tilang tersebut. Tapi Sri Sultan justru mengambil surat tilang itu dan memberikan rebuwes miliknya ke Royadin. Lalu Sri Sultan tersenyum dan melanjutkan perjalanannya.
Keesokan hari, komandan Royadin berpangkat Kompol (Komisaris Polisi) benar-benar terkejut ketika melihat ada rebuwees milik Sri Sultan Hamengkubuwono IX ditilang oleh seorang brigadir polisi. Hasilnya, usai apel pagi, komandan memanggil Royadin dan benar-benar marah. Ia memaki Royadin habis-habisan.
"Royadin! Kenapa kamu ini? Apa kamu nggak bisa berpikir dengan baik! Siapa yang kamu tilang itu! Tahu, kan!" teriak Kompol itu pada Royadin.
"Kamu itu ngawur! Kenapa kamu tidak lepaskan sinuwun! Kamu tahukan siapa sinuwun itu!" lanjut Royadin.
Royadin mengaku salah, namun ia mengaku bahwa Sri Sultan Hamengkubuwono IX memang mengaku salah dan memang melakukan kesalahan, juga tidak memperkenalkan dirinya.
"Harusnya kamu jangan kaku dan kamu juga tahu siapa dia! Bukannya malah ditilang! Ini bisa sampai Menteri Kepolisian Negara (sekarang Kapolri), kamu bisa kena masalah!" Kompol tambah besar marahnya.
Royadin jelas bingung dan rebuwees milik Sri Sultan diambil oleh komandannya untuk dikembalikan. Namun yang terjadi berikutnya justru mengejutkan.
Yah, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menolak menyelesaikan masalah penilangan tersebut dengan "kekuasaan". Ia ingin menyelesaikannya lewat jalur yang seharusnya. Ditambah lagi, Sri Sultan mengirimkan surat pada komandan untuk memindahkan Brigadir Royadin ke Yogyakarta bersama keluarganya, juga menaikkan pangkatnya satu tingkat.
Setelah itu, sang komisaris meminta maaf pada Royadin dan menyampaikan permintaan Sri Sultan agar Royadin pindah ke Yogyakarta. Namun, Royadin pada akhirnya memilih tetap tinggal di Pekalongan, tempat tanah kelahirannya.
"Sampaikan salam hormat saya dan permohonan maaf, karena saya tidak bisa pindah dari Pekalongan. Sebab ini adalah tanah kelahiran saya."
Meski demikian, polisi Royadin juga akhirnya berpindah tempat kerja sebagaimana polisi pada umumnya. Ia bertugas di Boyolali, Batang, Semarang, dan Warungasem. Ia sempat menjadi Kapolsek di Warung Asem sebelum pensiun dan mengakhiri masa kerjanya selama 21 tahun dengan pangkat Pembantu Letnan Satu (Peltu).
Ini merupakan kisah luar biasa dari seorang polisi yang menegakkan disiplin dengan jiwa yang berani, juga kisah dari seorang pejabat negeri yang sadar akan kesalahannya dan tunduk pada hukum. Dua-duanya mungkin akan sangat sulit ditemukan di era ini.
Polisi Royadin yang legendaris itu meninggal tanggal 14 Februari 2007 silam. Ia menjadi panutan dan teladan bagi polisi muda lainnya untuk tetap tegas menindak segala bentuk kesalahan, dan siapapun orang yang bersalah.
Sedangkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX juga menjadi panutan bahwa apapun kesalahan yang kita buat, meski kita punya kekuasaan untuk "menyembunyikan" masalah tersebut, namun akan lebih baik bila kita menghadapinya dan tetap patuh pada hukum yang berlaku.
This post have 0 komentar