Makanan Sehat itu Mahal? Itu Praktik Kapitalisme! |
pojokreview.com - Beberapa waktu lalu, PojokReview mencoba membandingkan antara selasih (bahan makanan lokal) dengan chia seed (bahan makanan impor). Hasil lengkapnya bisa Anda baca di artikel ini "Membandingkan Mana yang Lebih Sehat Antara Biji Selasih dan Biji Chia".
Apa hasilnya? Yah, sejauh Anda melihat influencer, sampai blogger, semuanya menulis pentingnya biji chia, manfaat, dan sebagainya. Padahal kita sendiri punya selasih, yang harganya jauh lebih murah, dan juga produksi tani kita sendiri.
Sadari atau tidak, bila menyebut makanan sehat, maka kita akan latah mengikuti "makanan sehat" ala barat. Yah, sebut saja makanan sehat itu didapat dari gojiberry, makanan utama adalah gandum, atau mungkin blueberry, ikan salmond, hingga chia seed. Yah, itu makanan sehat bukan?
Tapi, faktanya makanan untuk memenuhi gizi seimbang per hari harusnya berasal dari ketersediaan pangan di daerah tersebut. Begitu kata ahli gizi, bukan kata influencer dan selebgram. Dan Indonesia sebagai tanah yang subur bagi berbagai jenis tumbuhan, sudah jelas menjadi surga bagi makanan yang sehat dan bergizi.
Tahu tidak bahwa teknologi pangan kita juga terus maju. Ada banyak inovasi di bidang pertanian yang bahkan bisa membuat Anda menganga karena takjub. Seperti Melon Hikapel, Melon sebesar apel bernutrisi tinggi hasil inovasi anak negeri. Yah, rasanya juga sangat manis dan tentunya bisa menjadi pilihan yang tepat untuk menjaga kesehatan Anda.
Apalagi di era pandemi seperti saat ini, pasar juga tetap tidak berhenti. Kita membutuhkan vitamin C untuk meningkatkan imun, juga berbagai vitamin dan mineral lainnya. Hasilnya, yang datang adalah artikel atau mungkin video, grafis, dan sebagainya yang datang dari para selebgram, influencer, pesohor dan sebagainya. Apa intinya, yah untuk gaya hidup sehat, maka perlu makanan sehat yang harganya mahal. Sehat itu mahal, kata mereka.
Praktik Kapitalisme
Ketika Anda membeli makanan seperti buah, tumbuhan, dan setipenya namun diimpor dari luar negeri, itu berarti Anda sudah menjadi korban praktik kapitalisme. Mereka tetap membeli dari petani di luar negeri dengan harga yang murah, namun sampai ke tangan Anda dengan harga yang sangat tinggi.
Pernahkah Anda membeli madu dari luar negeri? Yah, dengan kualitas yang tidak begitu jauh selisihnya dengan madu lokal, tapi tahukah Anda berapa selisih harganya? Harga madu asal Amerika bahkan mulai dari Rp300 ribu per 100 gram.
Sedangkan madu yang berasal dari lokal, bahkan dikemas dengan menarik dan profesional pun harganya mulai dari Rp300 ribu per 1 kg. Yah, selisihnya sampai lebih dari 10 kali lipat.
Belum lagi ditambah dengan madu manuka asal Selandia Baru yang sangat terkenal karena disebut "madu terbaik di dunia" itu, yang sekarang sedang trend bagi para penyuka madu. Berapa harganya? Sekitar Rp10 juta per kg!
Kemudian akan ada dikotomi masyarakat yang "sehat asli", dan "sehat beruntung". Sehat asli disematkan untuk orang-orang yang mengonsumsi makanan sehat dan menu diet yang sehat, namun mahal harganya. Alasannya, ada harga maka akan ada barang. Bila Anda tidak mampu membeli selada dari Amerika, tentunya tidak akan sama khasiatnya dengan selada dari belakang rumah.
Sebenarnya, sehat atau tidak sehat itu sangat mudah dan juga murah. Apalagi bagi kita yang tinggal di Indonesia. Ketika ada yang menyebut bahwa "sehat itu mahal", maka sudah jelaslah bahwa orang itu sedang "membisniskan" kesehatan Anda. Bila Anda merasa tidur cukup, olahraga teratur, mengikuti protokol kesehatan, menjaga pola makan, dan tentunya tidak merokok atau minum alkohol, kenapa masih harus merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk membeli bahan makanan impor, untuk alasan ingin sehat?
Cukuplah ponsel, motor, alat elektronik, dan mobil semuanya sudah dipastikan produk impor. Tapi, kalau untuk hasil pertanian, masa iya kita juga mau impor?
This post have 0 komentar